Kamis, 10 Februari 2011

Toa-Toa Dalam Adat Istiadat Dayak Taman


Toa-Toa[1] Dalam Adat Istiadat Dayak Taman
(Suatu Tinjauan Kritis Dari Sudut Pandang Filsafat Kebudayaan)

PENDAHULUAN
Latar belakang mengenai kepemimpinan masyarakat Dayak Taman tidak begitu jelas. Hal ini dikarenakan tidak adanya sumber-sumber tertulis yang dapat dijadikan sebagai acuan. Hanya saja, tradisi kepemimpinan ini dapat diketahui lewat penuturan masyarakat sendiri yang secara turun-temurun diwarisi oleh generasi-generasi awali.
Disadari bahwa kepemimpinan dalam masyarakat Dayak Taman tidak terjadi begitu saja. Dapat dikatakan bahwa model kepemimpinan Dayak Taman terbagi menjadi dua, yakni kepemimpinan ‘asing’ dan kepemimpinan ‘asli’. Kepemimpinan ‘asing’ adalah kepemimpinan yang dibawa oleh orang-orang Belanda pada zaman penjajahan. Sedangkan kepemimpinan ‘asli’ adalah kepemimpinan yang berasal dari orang-orang Dayak Taman sendiri yang diperoleh dari pengajaran nenek moyang mereka (tamatoa jolo).
Maka dari itu, dalam paper ini akan dikemukakan kepemimpinan ‘asli’ yang lahir dari masyarakat Dayak Taman sendiri, di mana pemimpinnya disebut toa-toa atau pemuka adat. Toa-toa inilah yang akhirnya bertanggung jawab atas seluruh kehidupan masyarakatnya. Dan lebih jelasnya, adat istiadat tentang toa-toa ini akan ditinjau dari sudut pandang filsafat kebudayaan.   

SEKILAS TENTANG DAYAK TAMAN
Dayak Taman adalah salah satu suku Dayak yang terdapat di pedalaman Kalimantan Barat, tepatnya di kabupaten Kapuas Hulu. Nama Taman sendiri berarti “masuk ke dalam”. Hal ini dapat dilihat misalnya saja, anak sungai Kapuas antara kampung Sayut dan Ingkoktambe diberi nama Taman Tapa, artinya “tapa masuk ke dalam”, sebab sekali setahun ikan tapa masuk ke dalam sungai ini dengan jumlah besar. Sebagian besar masyarakat Dayak Taman tersebar dan bertempat tinggal di daerah Kapuas Hulu, yaitu di sepanjang Sungai Embaloh, Lauk, Plain, Leboyan, Mandai, Kalis, Peniung, Sibau, Mendalam dan Sungai Kapuas sebelah hulu kota Putussibau.[2]
Mengenai keadaan alamnya, masyarakat Dayak Taman hidup di daerah khatulistiwa yang memiliki iklim tropis. Sebagian besar terdiri dari dataran rendah dengan permukaan tanah rata dan di sana-sini terdapat banyak rawa. Di sekitar pusat pemukiman mereka, juga terdapat kebun sayur dan buah-buahan, serta tanah untuk berladang. Tak ketinggalan juga bahwa rumah panjang merupakan ciri utama bagi masyarakat Dayak Taman untuk bertempat tinggal.  Jalur perhubungan kebanyakan dilakukan lewat sungai.
Adapun mata pencaharian utama masyarakat Dayak Taman ialah berladang (bauma), berkebun (bakobon), menangkap ikan, berburu dan beternak (mamiara katio’an). Dan yang  paling utama ialah berladang. Hal ini bukan dikarenakan berladang banyak memberikan hasil melimpah, tetapi ini sudah merupakan ajaran nenek moyang mereka. Pandangan ini membuat mata pencaharian lain, seperti beternak, berkebun sayur/buah-buahan, yang memiliki banyak penghasilan tidak menjadi perhatian utama. Bagi mereka yang tepenting adalah meneruskan tradisi yang diberikan oleh para pendahulu mereka (nenek moyang). Selain itu, ada juga orang Dayak Taman yang pergi merantau (manamowe) untuk mencari nafkah, sampai ke Brunei dan Malaysia.
Lalu mengenai pendidikan, masyarakat ini masih tergolong rendah. Banyak dari mereka yang buta hurup. Karena itu tak heran jika pada tahun 1953-1960 dilaksanakan program Pemberantasan Buta Hurup (PBH).  

TOA-TOA (TETUA ADAT)
Di antara warga rumah panjang (suang soo) terdapat beberapa orang yang diakui sebagai “tetua adat” (toa) sebab berpengalaman, berbudi luhur, pandai bicara, dan dipandang pandai adat.[3] Tetua adat juga dimaksudkan sebagai tempat bertanya dan meminta pendapat. “Mereka dilihat sebagai orang yang patut diteladani, dianggap dapat menunjukkan jalan bagaimana dapat hidup damai dalam kehidupan bermasyarakat dan menjadi guru dalam belajar tentang adat hidup (adat tio’). Mereka merupakan panutan dan tempat warga masyarakat bertanya tentang adat masa lalu dan masa kini, tempat meminta penyelesaian berbagai kasus baik sengketa maupun bukan sengketa.”[4]
 Dalam arti luas tetua adat atau dewan adat Dayak tidak hanya sebagai aparat penegak hukum; tetapi juga berperanan untuk mengaktualisasikan, mengembangkan, menggali, membina dan memperbaharui adat istiadat dalam konteks budaya Dayak.[5] Juga berperanan aktif dalam mentransformasikan adat istiadat dan pengurus lainnya yang datang dari luar, sehingga bukan saja akan dapat menyegarkan adat istiadat tetapi kebudayaan Dayak tetap eksis.[6]
Jadi, toa-toa merupakan jabatan yang bukan sembarangan. Seorang yang menjadi toa-toa benar-benar merupakan pilihan masyarakat yang menilainya sebagai orang yang pantas untuk diteladani. Seseorang menjadi tetua adat berdasarkan pengakuan orang banyak, termasuk pengakuan dari kalangan tetua adat yang telah ada.[7]
‘Di antara toa-toa serumah panjang terdapat dua orang yang diberi suatu kedudukan formal berdasarkan kesepakatan warga rumah, yaitu toa soo (=yang dituakan di rumah panjang) dan kapit (kembar= artinya dari toa soo). Mereka dapat dilihat sebagai ‘pengurus’ urusan bersama di rumah panjang. Misalnya, “membuka” perundingan dalam pertemuan (kombong) dengan mengemukakan masalah; kalau ada pesta, toa soo atau kapit terlebih dahulu mengingatkan (batambar), antara lain agar pesta berjalan teratur, jangan mabuk- mabuk dan berkelahi.’

REFLEKSI FILOSOFIS
Manusia adalah subyek yang menyebabkan kebudayaan. Kebudayaan suku Dayak Taman merupakan sebuah fenomena yang adalah hasil relasi manusia dan alam. Dialog antara manusia dan alam menciptakan hal-hal dalam kehidupan baru yang dinamakan dengan kebudayaan. Begitu halnya dengan kebudayaan Dayak Taman. Kepemimpinan yang terjadi dalam masyarakat Dayak Taman adalah hasil dari relasi manusia yang memanusiawikan alam. Alam dianggap sebagai ciptaan yang juga hidup bersama-sama dengan manusia. Alam menjadi partner manusia di dalam usahanya mencapai kemanusiaan mulia dan memuliakan alam.[8]
Proses budaya adalah ciptaan manusia, bebas, superorganis dan pluriform.[9] Begitu juga dengan budaya yang dimiliki oleh Dayak Taman berkaitan dengan toa-toa. Toa-toa lahir karena masyarakat Dayak Taman ingin agar apa yang menjadi hasil relasi manusia dan alam, dapat terwujud dalam kehidupan yang sejahtera. Sehingga setiap orang dapat merasakan kedamaian. Karena itu untuk membentuk kedamaian dalam suatu lingkup, orang memerlukan pemimpin yang mampu dan mau bertindak atas kehidupannya.
Peranan seorang toa-toa sangat berpengaruh bagi masyarakat Dayak Taman. Hal itu terlihat dari penghormatan mereka yang begitu dalam kepadanya. Penghormatan yang mendalam ini juga menunjukkan adanya cinta anak kepada ayah. Artinya, penghormatan diberikan kepada yang lebih tua. Hal ini bersinggungan dengan ajaran Konfusius yang mengatakan bahwa anak harus patuh kepada ayah, murid harus taat kepada guru, dan sebagainya. Sikap seperti ini merupakan suatu sikap yang berangkat dari nilai budaya. Penghormatan adalah nilai tinggi dalam suatu budaya.
Suatu daerah atau tempat bukanlah apa-apa. Daerah tidak memperlihatkan seluruh aktivitas manusia, melainkan manusialah pelaku kebudayaan. Ia menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga baginya, dan dengan demikian kemanusiaannya menjadi lebih nyata.[10] Karena itu, pemilihan toa-toa adat dalam budaya Dayak Taman sangat memiliki arti positif terhadap perkembangan budaya Dayak Taman. Budaya toa-toa bukanlah sesuatu yang hanya muncul begitu saja, tetapi mengalami sebuah proses yang tidak gampang. Hasil kebudayaan itu terjadi karena manusia menemukan alam kodrat sebagai rangka kemungkinan-kemungkinan untuk ekspresi dan penyempurnaan diri.
Akhirnya kebudayaan itu sendiri harus merupakan penghayatan nilai-nilai yang luhur sehingga tidak dipisahkan dari manusia budaya Indonesia sebagai pendukungnya.[11] Toa-toa dalam kebudayaan Dayak Taman, memiliki nilai-nilai luhur yang sangat besar. Selain sebagai pelestarian suku, adat, dan budaya, juga memilki nilai penghormatan dan kesetiaan kepada yang lebih tua. Selain itu, kita dapat melihat bagaimana peran yang dihormati sungguh membantu manusia yang belum mampu menjawab persoalan hidupnya. Nampak bahwa di dalam adat Dayak Taman ini, toa-toa menjadi penasehat, bahkan dianggap mampu memecahkan persoalan nikah/kawin dan cerai.
Akhirnya, kebudayaan Dayak Taman ini mau mengatakan bahwa peran dari toa-toa mau memperlihatkan bagaimana kebudayaan itu berakarkan budaya penghormatan kepada yang lebih tua. Dan masyarakatnya berhak memilih siapa yang pantas dan layak untuk diteladani. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Dayak Taman ingin hdiup damai sejahtera, baik kepada sesama maupun kepada alam.

PENUTUP
Toa-toa yang telah dibahas di atas bukan hanya terdapat pada masyarakat Dayak Taman, tetapi kebudayaan ini juga hidup di tempat lain. Artinya, setiap kebudaayaan memiliki penatua atau kepala adatnya masing-masing. Hanya saja penghayatan dan makna dari penatua adat setiap budaya berbeda. Namun, hal yang pasti sama dimiliki ialah bahwa peran yang dimiliki oleh toa-toa adat menunjukkan kepemimpinan yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagian masyarakatnya.


[1] Toa-toa adalah sebutan masyarakat Dayak Taman untuk pemuka adat atau tetua adat atau tua-tua adat.
[2] Y.C Thambun Anyang, Kebudayaan dan Perubahan Dayak Taman Kalimantan Barat dalam Arus Modernisasi, Grasindo: Jakarta, 1998, hlm. 26. 
[3] Ibid., hlm. 155.
[4] Ibid.
[5] P. Yusnono, “Peranan Strategis Dewan Adat“, dalam P. Florus (eds), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Grasindo: Jakarta, 1994, hlm. 110.
[6] Ibid.
[7] Thambun Anyang, Loc.cit.
[8] J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Kanisius: Yogyakarta, 1984, hlm. 57. 
[9] Ibid., hlm. 61. 
[10] Ibid., hlm. 14.
[11] Ibid., hlm. 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar