Jumat, 11 Februari 2011

LEGENDA BUKIT KELAM:


BUJANG SEBEJI DAN TEMENGGUNG MARUBAI

Keberhasilan dan kesuksesan temenggung Marubai dalam menangkap ikan di pertigaan sungai Melawi membuat Bujang Sebeji iri hati. Dia marah dan benci kepada Marubai karena banyak sekali ikan yang diperolehnya. Akibat iri hatinya itu, ia mengangkat dan menggendong sebuah batu besar dengan menggunakan tujuh lembar daun ilalang. Hal ini ia lakukan untuk membendung dan menutup aliran sungai yang menghubungkan sungai Kapuas dan sungai Melawi. Tujuannya supaya Temenggung Marubai tidak mendapat ikan lagi.
Saat menuju pertigaan sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Sebeji mendengar suara teriakan dan ejekan dari bidadari yang ada di kayangan. Mendengar itu, ia sangat jengkel dan marah. Ia menurunkan batu yang digendongnya dan meletakkannya di tanah. Sembari itu, ia menyempatkan diri untuk bertapa di suatu tempat. Ia meminta kekuatan kepada dewa-dewa dan meminta perlindungan pada semua mahkluk hidup di dunia. Tidak lupa pula ia memberikan makanan kepada semua binatang yang ada. Namun sayang, ada satu binatang yang lupa diberinya makan, yakni rayap.
Setelah semua dikerjakannya, ia mengambil tangga yang panjangnya sampai ke langit. Lalu, naiklah ia menuju kayangan tempat para bidadari berada. Ketika hampir sampai di kayangan, tangga milik Bujang Sebeji runtuh karena dimakan oleh rayap. Bujang Sebeji pun jatuh ke bumi dan mati. Batu besar yang semulanya digunakan untuk membendung aliran sungai Melawi tak berhasil dipindahkan, sehingga batu itu sampai sekarang berada di kota Kelam, Sintang, Kalimantan Barat.
“Kejahatan dan kebaikan selalu ada di dalam dunia. Ada hitam dan ada putih. Namun pada akhirnya kejahatan tak akan pernah mampu mengalahkan kebaikan dan kebenaran. Sebab, kebaikan tertinggi adalah Allah sendiri (Summum Bonum).”    

OLAHRAGA SEBAGAI UPAYA TARIK KAUM MUDA KE KEGIATAN MUDIKA


OLAHRAGA[1] SEBAGAI UPAYA TARIK KAUM MUDA KE KEGIATAN MUDIKA

Kaum muda adalah bagian dari Gereja. Di pundak merekalah masa depan Gereja terletak. Kenyataannya, tidak sedikit yang mengeluhkan betapa sulitnya menggerakkan kaum muda.
Dewasa ini, kegiatan lingkungan seperti doa, ibadat, pendalaman iman, legio Maria, dan kegiatan rohani lainnya jarang diminati oleh kaum muda. Coba saja kita pergi ke suatu lingkungan yang mengadakan doa atau ibadat. Jarang kita menemukan anak muda yang tergabung di dalamnya. Pertanyaannya, di manakah anak muda? Di mana peran mereka sebagai ‘harapan masa depan Gereja’? Masih “hidupkah” mereka sebagai muda-mudi Katolik? Apa faktor penyebab ketidakaktifan mereka? Dan bagaimana cara mengatasinya?

Pemahaman Tentang Kaum Muda dan Mudika
Sebelum kita menyimak fenomena kaum muda yang terjadi di lingkungan Regina Caeli, maka baiklah kita mengerti dulu siapa itu kaum muda dan apa panggilan mereka sebagai kaum muda Katolik.
A. Sebuah Definisi
1. Kaum Muda
Pertanyaan tentang siapakah kaum muda, tidak mudah untuk dijawab. Sulit untuk mengkategorikannya. Hal ini disebabkan karena penentuan seseorang dikatakan kaum muda tidak ada kepastian. Ada yang mengatakan rentang usia 14-40 tahun, 15-24 tahun, dan 15-21 tahun. Ada juga yang mengatakan pada rentang usia 17-30 tahun dan belum menikah. S.F. Shoemaker mengemukakan pendapatnya dengan membagi tiga jenjang kaum muda: 1) young adolescent: 12-24 yrs, 2) middle adolescent: 15-16 yrs, dan 3) older adolescent: 17-19 yrs.[2]
Lalu, bagaimana dengan konsep Pastoral Kaum Muda (PKM)? PKM mengikuti pedoman KWI yang mengatakan bahwa yang tergolong kaum muda adalah mereka yang rentang usianya mulai dari 13-30 tahun dan belum menikah, rentang usia SLTP – PT (PBB), dan memperhatikan juga latbel/kelompok khusus.[3]
2. Mudika
Arti kaum muda secara umum tidak sama dengan mudika. Mudika merupakan kumpulan atau persekutuan atau organisasi kaum muda katolik. Dengan kata lain, mudika adalah semua orang muda Katolik Indonesia, yang baik bersama-sama maupun sebagai pribadi memiliki, mengolah, dan mengembangkan dalam dirinya empat kualitas dasar, yakni: 1) kemanusiaan, 2) kemudaan, 3) kekatolikan, 4) keindonesiaan.
Seorang Mudika adalah seorang muda Katolik Indonesia yang sepenuhnya memiliki jiwa yang semangat, siap untuk bertanggung jawab, sedia terlibat dan bekerja bersama-sama bagi masa depan yang bermartabat bagi diri pribadinya, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan itu sendiri.[4]

B. Panggilan Seorang Mudika
Mudika adalah seorang muda katolik Indonesia yang:[5]
1.       Sadar dan mampu mengemban peran dan tanggung jawabnya sebagai orang muda dalam tugas kebangsaan yang dipercayakan kepadanya sebagai anak negeri Indonesia.
2.       Sadar dan mampu mengemban tugas dan panggilan kemanusiaanya untuk selalu berpihak kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, mereka yang senantiasa menjadi korban dari ketidakadilan dan kerakusan kekuasaan.
3.       Sadar dan mampu mengemban tugas dan panggilannya sebagai warga Gereja, sebagai penerus tradisi iman beserta ajaran-ajarannya, sekaligus sebagai satu komunitas peziarahan dan perjuangan hidup bersama menuju sang Kasih Sejati, yakni Allah sendiri.
4.       Sadar dan mampu mengemban tugas hakikinya sebagai orang muda, dalam menyempurnakan diri pribadi dan semua talenta yang dipercayakan kepadanya, dalam memperjuangkan impian dan idealisme kemudaannya, dalam kesadaran penuh bahwa masa depan yang ia perjuangkan adalah pula masa depan dari masyarakat, bangsa, gereja, dan kemanusiaan itu sendiri. Maka, menjadi sebuah keniscayaan baginya untuk bekerja bersama dengan semua sesama orang muda melintasi batas kebudayaan dan agama menjadi daya gerak utama transformasai sejarah bangsanya.
5.       Maka, menjadi sebuah keniscayaan pula, seorang Mudika pertama-tama haruslah mengerti, mendalami, dan menghidupi semangat, teladan hidup, dan ajaran Sang Kasih sendiri, yakni Kristus, Sang Manusia Muda yang secara khusus disampaikan kepada jaman ini lewat perantaraan Gereja Kudus. Demikianlah, menggereja menjadi kesempatan pembelajaran hidup yang pertama bagi seorang Muda Katolik, tanpa menjadi mati dan beku di dalamnya.

Penggambaran Situasi dan Persoalan Mudika Regina Caeli
Jumlah semua kaum muda yang tergabung dalam mudika Regina Caeli adalah 30 orang. Jumlah mereka ini merupakan jumlah terbanyak dari empat lingkungan yang ada di wilayah V.[6] Namun jika digabung secara keseluruhan, jumlah mudika yang ada di wilayah V adalah 70 orang.
Situasi yang terjadi pada mudika di lingkungan ini adalah selain tidak pernah datang ke setiap doa-doa lingkungan, mereka juga susah untuk bisa berkumpul bersama.[7] Jangankan mengikuti kegiatan lingkungan, berkumpul saja tidak pernah. Sehingga, lingkungan ini tampak seperti lingkungan yang tidak memilki mudika. Apakah mudikanya “mati”?
Sesuai hasil wawancara dengan ketua mudika, ketua liturgi, dan ketua lingkungan, mudika Regina Caeli sudah lama “mati”. Artinya, mereka sudah tidak pernah aktif lagi di lingkungan selama 6-7 tahun, baik itu dalam kegiatan doa lingkungan, kor, maupun hanya berkumpul bersama. Lalu, apa yang membuat mereka “mati”?
Menurut Rosanti Sindarta, selaku ketua mudika, “kematian” mudika Regina Caeli disebabkan oleh faktor kemalasan. Kemalasan ini dikarenakan tiap-tiap orang memiliki kesibukan tertentu dan memiliki wilayah kerja yang sangat jauh (mis. Di luar kota).  Apalagi, mudika Regina Caeli ini terdiri dari usia yang berbeda-beda. Ada yang SMP, SMA, kuliah, dan yang sudah bekerja. Otomatis waktu kerja dan waktu tenggang berbeda. Sehingga mereka sulit meluangkan waktunya untuk berkumpul bersama.
Secara singkat, juga ketua bidang liturgi, pak Ismiato, mengatakan bahwa “kematian” mudika disebabkan karena adanya faktor takut dan malu. Rasa takut dan malu ini berawal dari pertanyaan romo kepada mereka tentang agama pada saat doa-doa dan pendalaman iman. Sedangkan mereka tidak tahu menjawab ketika ditanya. Sehingga, hal itu membuat mereka malu. Akibatnya, para kaum muda merasa takut dan tidak mau lagi mengikuti doa dan kegiatan-kegiatan rohani lainnya. Dan itu terjadi sampai sekarang setelah 6-7 tahun yang lalu.
Singkatnya, penjelasan-penjelasan ini menghantarkan kita untuk mengerti dan memahami ketidakaktifan mudika Regina Caeli di lingkungannya. Lalu, bagaimana mengatasi hal ini?

Olahraga: Sebuah Metode
Untuk mencapai suatu tujuan kita tak lepas dari metode yang kita gunakan. Drs. Philips Tangdilintin mengatakan bahwa dalam membangkitkan kembali semangat kaum muda untuk dapat berkumpul bersama, kita tidak perlu melakukannya lewat pengumuman gereja. Tetapi yang harus kita lakukan ialah pendekatan pribadi pada beberapa key person, orang-orang muda yang mempunyai pengaruh dan didengarkan di lingkungan mereka.[8] Sehingga lewat perantaraan merekalah, ide atau gagasan ini dapat tersalurkan. Namun sebelum sampai kepada key person ini, kita perlu mempersiapkan metode terlebih dahulu.
Metode adalah jalan, cara dan langkah-langkah yang harus dilewati dalam rangka mencapai tujuan. Metode lebih dimaksudkan sebagai tindakan seleksi, pengaturan, dan penempatan sumber-sumber dan cara kerja yang sistematis strategi – (meliputi sebelum-pada waktu-sesudah aktivitas pembinaan), sehingga secara fungsional dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan tercapainya tujuan pembinaan yang dirumuskan.[9]
Ada beberapa prinsip dalam dalam metode, yaitu: definitive, relevan, motivasi, integrasi, konkrit, dan konsentrasi.[10] Prinsip-prinsip ini akan dijelaskan satu persatu sesuai dengan maksud penulis dalam pengamatan dan hasil kerja nyata di lingkungan Regina Caeli:

1.      Definitif
Tujuan utama yang hendak penulis capai ialah agar mudika dapat kembali aktif ke dalam kegiatan mudika dan aktif mengikuti kegiatan lingkungan, paroki, dan gereja serta dapat memahami imannya dengan benar. Dan metode olahraga ini hanya sebagai cara atau sarana untuk mengumpulkan mereka. Sehingga dengan berkumpulnya mereka menjadi satu, tujuan sesungguhnya yang menjadi sasaran dapat disampaikan.    
2.      Relevan
Mudika lingkungan Regina Caeli sampai sekarang tidak pernah mengadakan kumpul bersama dengan mereka sendiri sejak 6-7 tahun yang lalu. Bukan hanya itu, mereka juga tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan, seperti doa, ibadat, pendalaman iman, dan sebagainya. Dan realitas yang ingin dicapai adalah lawan dari realitas yang terjadi pada saat ini, yakni aktif kembali sebagai mudika sejati, baik di paroki maupun di lingkungan. Dan cara atau metode yang digunakan untuk dapat memberikan pemahaman dan pendalaman sebagai murid Kristus adalah metode olahraga.  
3.      Motivasi
Pembinaan ini berangkat dari sebuah kegelisahan yang mendalam yang terjadi dengan mudika regina caeli. Maka dari itu, penulis bermaksud mengembalikan situasi yang pernah terjadi sebelumnya – di mana kaum muda pernah berkumpul dan terlibat di lingkungan – ke realitas saat ini. Dan pembinaan ini bukan sekedar hal-hal sampingan, tetapi suatu perhatian yang terarah dan berlanjut.
4.      Integrasi
Dalam pembinaan ini, penulis hanya menggunakan satu metode yaitu metode olahraga. Metode ini dianggap mampu untuk mengumpulkan kaum muda Katolik. Hanya sebatas “mengumpulkan” (namun maksud penulis sesungguhnya bukan hanya untuk mengumpulkan, tetapi mengumpulkan untuk dapat memberi sesuatu yang berguna bagi mereka sebagai kaum muda Katolik).
5.      Konkrit
Tujuan konkrit yang sudah dipaparkan di atas serta metode yang digunakan, juga dilaksanakan secara konkrit. Dan pelaksanaan itu dapat dicapai dan dekat dengan dunia kaum muda.
6.      Konsentrasi
Metode olahraga yang digunakan hanyalah sebatas untuk mengumpulkan kaum muda. Sedang tujuan utamanya adalah menanamkan nilai-nilai imani yang berpusat pada Kristus sendiri. Karena itu, hal ini tak luput dari pengulangan dan pendalaman yang terus-menerus. Artinya, kegiatan ini tak boleh berhenti begitu saja, melainkan terus berlanjut guna membantu pengendapan nilai-nilai, baik itu secara intensif maupun ekstensif.

Lalu pertanyaannya, mengapa menggunakan metode ini? Karena, metode ini dirasa cukup praktis dan sederhana serta tidak membutuhkan biaya sedikitpun. Selain itu, olahragapun menjadi sarana yang banyak digemari oleh mereka. Sehingga, ketika diajak untuk olahraga bersama, mereka dengan senang hati menerimanya.

Sebuah Refleksi
Jiwa kaum muda tidak dapat disamakan begitu saja dengan jiwa kaum tua. Masa muda adalah masa pembentukan jatidiri. Pada masa ini seseorang akan menegaskan identitas, kepribadian dan keunikannya[11]. Maka tidak mengherankan jika pada masa ini kaum muda banyak memberikan sumbangan dan perubahan bagi lingkungannya, keluarganya dan masyarakatnya.
Masa muda juga dipenuhi dengan masa di mana mereka selalu ingin berkelompok. Ada aneka macam kelompok hobi yang diikuti oleh orang-orang muda, seperti komunitas sepede ontel, komunitas pecinta binatang, dan komunitas pecinta alam. Banyak pula kelompok-kelompok lain seperti olahraga, musik, teater, diskusi yang terdiri dari orang muda. Kecendrungan berkelompok ini tidak hanya terjadi dalam dunia yang kasad mata, tapi juga dalam dunia maya dalam bentuk milis ataupun blog-blog komunitas pertemanan.[12]
Dunia orang muda adalah dunia yang selalu bergerak. Mereka bergerak untuk menemukan tempat berlabuh yang sesuai. Maka tidak mengherankan bila seringkali pelabuhan ini tidaklah panjang waktunya, sementara, sampai ditemukan tempat berlabuh yang lebih nyaman dan menyejukkan hati. Pelabuhan itu dapat berupa kawan, organisasi, tempat kerja, pendidikan dan calon pasangan hidup.[13]
Karena itu, tak heran jika kegiatan mudika atau lingkungan yang berupa doa, ibadat, pendalaman iman, dan sebagainya tak diminati. Karena kaum muda sudah “terbius” dengan keadaannya sebagai orang muda yang bebas. Maka dari itu, sangat baik jika seorang Pembina pastoral menyadarkan kembali akan pentingnya kaum muda dalam membangun Gereja.  
Memang tidak mudah untuk menarik kaum muda yang sudah terbius dengan kehidupannya yang bebas. Namun sebetulnya, kaum muda itu membutuhkan pendampingan yang sungguh bersahabat. Artinya, kaum muda sungguh membutuhkan perhatian dan cinta kasih dari siapa saja yang peduli kepada mereka. Dan Tentu saja cara yang digunakan untuk menarik kaum muda tidak melulu dengan langsung turun kepada kegiatan rohani seperti rekoleksi, retret, atau kegiatan doa lainnya. Tetapi perlahan-lahan masuk dengan sebuah metode tertentu yang menarik bagi mereka. Misalnya saja, dengan metode yang sesuai dengan minat atau bakat mereka. Jika mereka menyukai musik atau olahraga, maka mulailah dengan kegiatan itu. Seperti metode yang digunakan kali ini, yakni metode olahraga.
  Namun pertanyaan kritis bagi kita, apakah metode ini sama dengan cara menipu kaum muda?
Bermetode tidak sama dengan menipu. Metode hanyalah cara atau jalan terbaik untuk bisa mencapai tujuan. Tetapi dalam hal ini bukan menipu. Karena metode adalah sarana yang benar dan sesuai dalam menarik perhatian seseorang, terlepas dari keinginannya mau atau tidak. Dan metode ini sifatnya adalah tidak memaksa.
Akhirnya, metode hanyalah sebuah cara, jalan, langkah-langkah dan sarana yang dapat membantu untuk tercapainya sebuah tujuan.

Penutup
Pada pelantikan Paus Yohanes Paulus II tanggal 22 Oktober 1978, Paus menyapa kaum muda dengan mengatakan, “Kaum muda adalah masa depan dunia, kalian adalah harapan Gereja, kalianlah harapan saya”. Ia juga menyemangati mereka dan menyadarkan betapa berharganya mereka dalam kehidupan Gereja.    
Gembira karena kita masih mempunyai masa depan melalui generasi muda Gereja. Berharap karena percaya bahwa kaum muda tidak akan takut menjadi orang Katolik yang baik. Kaum muda adalah jantung Gereja. Jika jantung tidak bergerak, seluruh tubuh akan mati. Kaum muda harus bergerak agar Gereja tidak mati. Kaum muda adalah masa depan dunia, harapan Gereja, dan harapan Paus.[14]
Maka dari itu, hal yang terbaik yang dapat kita lakukan ialah bersama-sama membangkitkan semangat kaum muda untuk terlibat di dalam kehidupan menggereja dan berani menjadi saksi Kristus yang sejati. Hidup Kaum muda!!


[1] “Di Jerman, olahraga merupakan sebuah jalan baru untuk menjembatani tema agama kepada remaja. Pemuka gereja Jerman juga menyadari bahwa langkah ini amat perlu dilakukan. Sebab Gereja Katolik memiliki citra yang sudah tidak bagus di kalangan remaja. Dan mereka memandang bahwa Gereja adalah institusi yang ketinggalan zaman, kolot, menjengkelkan dan membosankan. Pokoknya di mata para remaja, Gereja itu tidak keren. Itulah sebabnya mengapa banyak sekali remaja yang menyatakan keluar dari gereja. Akibatnya gereja-gereja di Jerman berusaha mencari jalan, untuk menarik minat kaum muda agar kembali aktif dalam bidang keagamaan”. Lih. http://www.tor.cn/chinfootball/dw/article/0,,4159734,00.html, akses 22 Mei 2009.
[2] S.F. Schoemaker, “Adolescent”, dalam Rodney J Hunter (eds), Abingdon: 2005.
[3] Adi Saptowidodo, Lic, Diktat Patoral Kaum Muda: Bagian Dua, STFT Widya Sasana: Malang, hlm. 2.
[5] Ibid.

[6] Empat lingkungan yang ada di wilayah V adalah: lingkungan Regina Caeli, Sisilia, Vincentius A Paulo, dan Yoseph.
[7] Hal yang sama juga terjadi di tiga lingkungan lainnya. Namun pada kesempatan ini penulis hanya membatasi diri pada lingkungan Regina Caeli.
[8] Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa, “letakkan gagasan anda di mulut key person itu: biarkan mereka yang kemukakan dalam pertemuan trerbatas, seolah-olah itu gagasan mereka sendiri, yang kemudian anda dukung dan sempurnakan. Kemudian usulkan dan bahas bersama bentuk kegiatan untuk mulai”. Lih. Drs. Philips Tangdilintin, Pembinaan Generasi Muda Dengan Proses Manajerial Vosram, Kanisius: Yogyakarta, 2008, hlm. 130.
[9]  Adi Saptowidodo, Lic, Op.cit., bagian lima, hlm. 2.
[10] Ibid. hlm. 2-3.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.

Kamis, 10 Februari 2011

BERDOA DENGAN MAZMUR

BERDOA DENGAN MAZMUR
I.                   Pendahuluan
Mazmur bukanlah pertama-tama doa para imam yang dikuduskan sebagai pelayan Tuhan, bukan pula doa para hirarki atau petinggi Gereja. Mazmur juga bukan pertama-tama doa orang perseorangan dalam kehidupan sehari-harinya. Mazmur adalah pertama-tama doa umat Allah yang mencintai Allah dan telah mengalami kasih setia-Nya. Dengan kata lain, orang yang mendoakan mazmur berarti berdoa sebagai anggota umat Allah. Mereka memberi jawaban kepada firman dan karya-karya Allah terhadap umat-Nya. 

II.                Sekilas Tentang Mazmur
Mazmur adalah salah satu kitab setelah Ayub yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Dalam Septuaginta (Kitab Suci berbahasa Yunani), kitab mazmur ini disebut psalmoi, artinya: nyanyian-nyanyian yang biasanya diiringi dengan musik, khususnya kecapi.[1] Jemaat Yahudi yang berbahasa Ibrani atau Aram menyebut Kitab Mazmur sefer tebillim, artinya kitab puji-pujian, atau singkatnya tebillim.[2] Sedangkan jemaat Kristen di Indonesia mengartikannya dengan “nyanyian pujian”. Namun Kitab Mazmur tidak hanya mengungkapkan pengalaman manusia yang mengalami kasih Allah dan mewujudkannya dalam nyanyian pujian. Tetapi, Kitab Mazmur juga mengungkapkan seluruh pengalaman manusia di hadapan Allah dan sesamanya, seperti sakit, harapan, penderitaan, iman akan Allah, akan wahyu dan karya agung-Nya yang menyelamatkan. Singkatnya, Kitab Mazmur adalah doa syukur-pujian kepada Allah.

III.             Mazmur Sebagai Doa Dalam Zamannya
Mazmur digunakan sebagai doa oleh seluruh umat Kristen pada segala tempat dan jaman. Dari sejak zaman para rasul, mazmur digunakan sebagai doa atau dinyanyikan pada ibadah harian umat Kristen bersama dengan doa “Bapa Kami”, nyanyian Perjanjian Baru seperti nyanyian Maria, Zakharia, Simeon dan doa liturgis yang diciptakan dalam gereja.[3] Juga dalam Kis 2:46, para rasul dan murid “dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah”. Doa yang mereka naikkan ialah untuk memohon pertolongan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya, bersandar pada mazmur, bahkan meminjam perkataannya (Kis 4:24-31 dengan kutipan Mzm 146:6 dan 2:1-2).
Bukan hanya dalam Gereja perdana, tetapi Yesuspun juga menggunakan Mazmur. Hal itu dapat dibuktikan dalam injil Lukas, di mana Yesus berdoa di kayu salib dengan seruan-Nya: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawaKu” (Luk 23:26 = Mzm. 31:6). Juga dalam Mrk 15:34 dan Mat 27:46, di kayu salib Yesus berseru dengan suara nyaring, “Eloi-eloi lama Sabakhtani?” yang berarti: Alahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Di dalam kematian-Nya Yesus menanggung keterpisahan dari Allah dengan menggunakan perkataan Mzm. 22:2 yang mengerikan itu sebagai doa.  
Kini, sejak Konsili Vatikan II, mazmur digunakan sebagai doa dan dinyanyikan dalam ibadat gereja. Konsili mempertahankan segenap Mazmur sebagai unsur yang paling besar dalam ibadat harian. Hal itu dirasa bahwa Kitab Mazmur merupakan buku doa Yesus sendiri.[4] Artinya, dalam keempat injil tersimpan tidak banyak doa Yesus, hanya beberapa saja, tetapi lazimnya Yesus berdoa dengan menggunakan buku doa utama dari Israel, yakni Kitab Mazmur yang sebagian besarnya dihafal oleh orang Yahudi saleh pada waktu itu.[5]

IV.             Berdoa dengan Mazmur
Mazmur merupakan doa jemaat yang berisi seruan dan pujian dalam situasi yang berbeda-beda. Mereka menantikan apa yang dilakukan Allah yang setia dan berpegang teguh pada cinta kasih Tuhan serta menyerahkan diri kepada kehendaknya.[6] 
Lalu, bagaimana menggunakan mazmur sebagai doa? Orang hanya dapat menggunakan mazmur sebagai doa bila disadarinya bahwa mazmur itu bukan “doa yang sudah jadi dan tinggal diucapkan saja”.[7] Mazmur mengambil bahan doanya dari kehidupan umat Allah dan masing-masing anggotanya, dan mengajar kita untuk membawakan kepada Allah hidup kita sebagai Gereja, bangsa, keluarga dan orang perseorangan.[8] Jelas bahwa Mazmur yang sama tidak dapat digunakan dalam situasi hati yang berbeda-berbeda. Ada Mazmur yang langsung dapat dihayati ketika kita sedih, sakit, takut; ada pula Mazmur yang kita gunakan sebagai doa di saat kita sehat, diampuni, ditolong. Namun, di satu sisi, Mazmur yang tidak sesuai dengan suasana hati pun sangat bermanfaat.  Mazmur-mazmur itu melegakan hati kita dan menghantar kita untuk belajar berdoa dari orang-orang beriman yang telah mendahului kita.
Kita hanya dapat menjadikan doa Mazmur menjadi doa pribadi kita sejauh kita mengerti arti Mazmur itu.[9] Hal ini dikarenakan Mazmur berbentuk syair dan pengalaman orang secara intuitip. Sehingga kita perlu belajar untuk mengatasi banyak kesulitan yang disebabkan oleh budaya dan situasi yang berbeda antara pengarang Mazmur dan kita.
Hal yang lebih penting lagi ialah bahwa kita hanya dapat menggunakan Mazmur sebagai doa dengan tepat bila kita menaikkannya sebagai doa “dalam Kristus dan dengan Kristus”[10]. Pengarang Perjanjian Baru menafsirkan bahwa Mazmur merupakan kesaksian yang berbicara tentang Kristus; angkatan demi angkatan orang kristen telah menggunakannya sebagai doa, sehingga dalam setiap Mazmur kita dapat melihat Kristus dan menaikkannya sebagai doa bersama dengan Dia.
Selain sebagai doa, mazmur juga dapat meresap ke dalam hati jika dinyanyikan. Ada macam-macam cara membawakan mazmur entah secara langsung, responsorial, antifonal atau bersahut-sahutan. Lalu apa artinya menyanyikan mazmur? Bernyanyi membentuk persatuan yang lebih besar antara anggota jemaah. Orang menjadi sehati dan sejiwa dalam memuji Allah karena orang didik untuk saling mendengarkan.[11] Selain itu, Mazmur juga dapat dirayakan bahkan didramakan. Merayakan Mazmur berarti memerankan Mazmur serta menyertai perayaan itu dengan ritus-ritus seperti berlutut, membungkuk, bersujud, dan sebagainya. Hal ini bertujuan untuk mendidik orang agar menjadi lebih peka terhadap persoalan-persoalan hidup, karena Mazmur dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain.[12]

V.                Penutup
Mazmur mempunyai daya kekuatan untuk mengangkat hati dan budi kita kepada Tuhan, dapat pula menimbulkan dalam diri kita pikiran-pikiran yang suci dan berharga. Juga Mazmur-Mazmur membantu kita untuk menyampaikan pujian syukur pada saat untung dan membawa penghiburan dan keteguhan dalam kemalangan. Namun kita perlu menyadari juga bahwa pemazmur itu hidup dalam lingkungan budaya yang berbeda dengan kita, dan tentulah unsur-unsur budayanyapun mempengaruhi Mazmurnya. Sehingga hal yang terpenting ialah bahwa Mazmur itu harus menjadi kata-kata kita sendiri, bukan kata-kata Mazmur atau pemazmur. Karena yang berbicara dan berdoa adalah kita sendiri.
Mazmur adalah pertama-tama doa umat Allah yang mencintai Allah. Berdoa Mazmur berarti kita berdoa sebagai kesatuan anggota umat Allah. Walaupun kita mendoakan mazmur yang tidak sesuai dengan suasana hati kita, namun sesungguhnya kita sudah berdoa bagi mereka yang saat itu mengalami suasana yang sesuai dengan mazmur yang kita doakan. Sehingga, saudara-saudara kita yang seimanpun dikuatkan melalui doa-doa dan nyanyian kita.


[1] M. Claire Barth dan B.A Pareira, Kitab Mazmur 1-72 Pembimbing dan Tafsirannya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, hal. 6.
[2] Ibid., hal. 5.
[3] Ibid., hal. 115.
[4] Wim Vander Weiden, Mazmur Dalam Ibadat Harian, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 188.
[5] Ibid., hal. 187.
[6] Katekismus Gereja Katolik Indonesia, Ende: Arnoldus, 1995, hal. 646.
[7] M. Claire Barth dan B.A Pareira, Op.cit, hal. 117.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid., 118
[11] B.A Pareira, Diktat Mazmur: Mazmur dan Pembinaan Integral Seorang Pelayan Firman, Malang: STFT, 2002, hal. 5.
[12] Ibid., hal. 7.

Toa-Toa Dalam Adat Istiadat Dayak Taman


Toa-Toa[1] Dalam Adat Istiadat Dayak Taman
(Suatu Tinjauan Kritis Dari Sudut Pandang Filsafat Kebudayaan)

PENDAHULUAN
Latar belakang mengenai kepemimpinan masyarakat Dayak Taman tidak begitu jelas. Hal ini dikarenakan tidak adanya sumber-sumber tertulis yang dapat dijadikan sebagai acuan. Hanya saja, tradisi kepemimpinan ini dapat diketahui lewat penuturan masyarakat sendiri yang secara turun-temurun diwarisi oleh generasi-generasi awali.
Disadari bahwa kepemimpinan dalam masyarakat Dayak Taman tidak terjadi begitu saja. Dapat dikatakan bahwa model kepemimpinan Dayak Taman terbagi menjadi dua, yakni kepemimpinan ‘asing’ dan kepemimpinan ‘asli’. Kepemimpinan ‘asing’ adalah kepemimpinan yang dibawa oleh orang-orang Belanda pada zaman penjajahan. Sedangkan kepemimpinan ‘asli’ adalah kepemimpinan yang berasal dari orang-orang Dayak Taman sendiri yang diperoleh dari pengajaran nenek moyang mereka (tamatoa jolo).
Maka dari itu, dalam paper ini akan dikemukakan kepemimpinan ‘asli’ yang lahir dari masyarakat Dayak Taman sendiri, di mana pemimpinnya disebut toa-toa atau pemuka adat. Toa-toa inilah yang akhirnya bertanggung jawab atas seluruh kehidupan masyarakatnya. Dan lebih jelasnya, adat istiadat tentang toa-toa ini akan ditinjau dari sudut pandang filsafat kebudayaan.   

SEKILAS TENTANG DAYAK TAMAN
Dayak Taman adalah salah satu suku Dayak yang terdapat di pedalaman Kalimantan Barat, tepatnya di kabupaten Kapuas Hulu. Nama Taman sendiri berarti “masuk ke dalam”. Hal ini dapat dilihat misalnya saja, anak sungai Kapuas antara kampung Sayut dan Ingkoktambe diberi nama Taman Tapa, artinya “tapa masuk ke dalam”, sebab sekali setahun ikan tapa masuk ke dalam sungai ini dengan jumlah besar. Sebagian besar masyarakat Dayak Taman tersebar dan bertempat tinggal di daerah Kapuas Hulu, yaitu di sepanjang Sungai Embaloh, Lauk, Plain, Leboyan, Mandai, Kalis, Peniung, Sibau, Mendalam dan Sungai Kapuas sebelah hulu kota Putussibau.[2]
Mengenai keadaan alamnya, masyarakat Dayak Taman hidup di daerah khatulistiwa yang memiliki iklim tropis. Sebagian besar terdiri dari dataran rendah dengan permukaan tanah rata dan di sana-sini terdapat banyak rawa. Di sekitar pusat pemukiman mereka, juga terdapat kebun sayur dan buah-buahan, serta tanah untuk berladang. Tak ketinggalan juga bahwa rumah panjang merupakan ciri utama bagi masyarakat Dayak Taman untuk bertempat tinggal.  Jalur perhubungan kebanyakan dilakukan lewat sungai.
Adapun mata pencaharian utama masyarakat Dayak Taman ialah berladang (bauma), berkebun (bakobon), menangkap ikan, berburu dan beternak (mamiara katio’an). Dan yang  paling utama ialah berladang. Hal ini bukan dikarenakan berladang banyak memberikan hasil melimpah, tetapi ini sudah merupakan ajaran nenek moyang mereka. Pandangan ini membuat mata pencaharian lain, seperti beternak, berkebun sayur/buah-buahan, yang memiliki banyak penghasilan tidak menjadi perhatian utama. Bagi mereka yang tepenting adalah meneruskan tradisi yang diberikan oleh para pendahulu mereka (nenek moyang). Selain itu, ada juga orang Dayak Taman yang pergi merantau (manamowe) untuk mencari nafkah, sampai ke Brunei dan Malaysia.
Lalu mengenai pendidikan, masyarakat ini masih tergolong rendah. Banyak dari mereka yang buta hurup. Karena itu tak heran jika pada tahun 1953-1960 dilaksanakan program Pemberantasan Buta Hurup (PBH).  

TOA-TOA (TETUA ADAT)
Di antara warga rumah panjang (suang soo) terdapat beberapa orang yang diakui sebagai “tetua adat” (toa) sebab berpengalaman, berbudi luhur, pandai bicara, dan dipandang pandai adat.[3] Tetua adat juga dimaksudkan sebagai tempat bertanya dan meminta pendapat. “Mereka dilihat sebagai orang yang patut diteladani, dianggap dapat menunjukkan jalan bagaimana dapat hidup damai dalam kehidupan bermasyarakat dan menjadi guru dalam belajar tentang adat hidup (adat tio’). Mereka merupakan panutan dan tempat warga masyarakat bertanya tentang adat masa lalu dan masa kini, tempat meminta penyelesaian berbagai kasus baik sengketa maupun bukan sengketa.”[4]
 Dalam arti luas tetua adat atau dewan adat Dayak tidak hanya sebagai aparat penegak hukum; tetapi juga berperanan untuk mengaktualisasikan, mengembangkan, menggali, membina dan memperbaharui adat istiadat dalam konteks budaya Dayak.[5] Juga berperanan aktif dalam mentransformasikan adat istiadat dan pengurus lainnya yang datang dari luar, sehingga bukan saja akan dapat menyegarkan adat istiadat tetapi kebudayaan Dayak tetap eksis.[6]
Jadi, toa-toa merupakan jabatan yang bukan sembarangan. Seorang yang menjadi toa-toa benar-benar merupakan pilihan masyarakat yang menilainya sebagai orang yang pantas untuk diteladani. Seseorang menjadi tetua adat berdasarkan pengakuan orang banyak, termasuk pengakuan dari kalangan tetua adat yang telah ada.[7]
‘Di antara toa-toa serumah panjang terdapat dua orang yang diberi suatu kedudukan formal berdasarkan kesepakatan warga rumah, yaitu toa soo (=yang dituakan di rumah panjang) dan kapit (kembar= artinya dari toa soo). Mereka dapat dilihat sebagai ‘pengurus’ urusan bersama di rumah panjang. Misalnya, “membuka” perundingan dalam pertemuan (kombong) dengan mengemukakan masalah; kalau ada pesta, toa soo atau kapit terlebih dahulu mengingatkan (batambar), antara lain agar pesta berjalan teratur, jangan mabuk- mabuk dan berkelahi.’

REFLEKSI FILOSOFIS
Manusia adalah subyek yang menyebabkan kebudayaan. Kebudayaan suku Dayak Taman merupakan sebuah fenomena yang adalah hasil relasi manusia dan alam. Dialog antara manusia dan alam menciptakan hal-hal dalam kehidupan baru yang dinamakan dengan kebudayaan. Begitu halnya dengan kebudayaan Dayak Taman. Kepemimpinan yang terjadi dalam masyarakat Dayak Taman adalah hasil dari relasi manusia yang memanusiawikan alam. Alam dianggap sebagai ciptaan yang juga hidup bersama-sama dengan manusia. Alam menjadi partner manusia di dalam usahanya mencapai kemanusiaan mulia dan memuliakan alam.[8]
Proses budaya adalah ciptaan manusia, bebas, superorganis dan pluriform.[9] Begitu juga dengan budaya yang dimiliki oleh Dayak Taman berkaitan dengan toa-toa. Toa-toa lahir karena masyarakat Dayak Taman ingin agar apa yang menjadi hasil relasi manusia dan alam, dapat terwujud dalam kehidupan yang sejahtera. Sehingga setiap orang dapat merasakan kedamaian. Karena itu untuk membentuk kedamaian dalam suatu lingkup, orang memerlukan pemimpin yang mampu dan mau bertindak atas kehidupannya.
Peranan seorang toa-toa sangat berpengaruh bagi masyarakat Dayak Taman. Hal itu terlihat dari penghormatan mereka yang begitu dalam kepadanya. Penghormatan yang mendalam ini juga menunjukkan adanya cinta anak kepada ayah. Artinya, penghormatan diberikan kepada yang lebih tua. Hal ini bersinggungan dengan ajaran Konfusius yang mengatakan bahwa anak harus patuh kepada ayah, murid harus taat kepada guru, dan sebagainya. Sikap seperti ini merupakan suatu sikap yang berangkat dari nilai budaya. Penghormatan adalah nilai tinggi dalam suatu budaya.
Suatu daerah atau tempat bukanlah apa-apa. Daerah tidak memperlihatkan seluruh aktivitas manusia, melainkan manusialah pelaku kebudayaan. Ia menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga baginya, dan dengan demikian kemanusiaannya menjadi lebih nyata.[10] Karena itu, pemilihan toa-toa adat dalam budaya Dayak Taman sangat memiliki arti positif terhadap perkembangan budaya Dayak Taman. Budaya toa-toa bukanlah sesuatu yang hanya muncul begitu saja, tetapi mengalami sebuah proses yang tidak gampang. Hasil kebudayaan itu terjadi karena manusia menemukan alam kodrat sebagai rangka kemungkinan-kemungkinan untuk ekspresi dan penyempurnaan diri.
Akhirnya kebudayaan itu sendiri harus merupakan penghayatan nilai-nilai yang luhur sehingga tidak dipisahkan dari manusia budaya Indonesia sebagai pendukungnya.[11] Toa-toa dalam kebudayaan Dayak Taman, memiliki nilai-nilai luhur yang sangat besar. Selain sebagai pelestarian suku, adat, dan budaya, juga memilki nilai penghormatan dan kesetiaan kepada yang lebih tua. Selain itu, kita dapat melihat bagaimana peran yang dihormati sungguh membantu manusia yang belum mampu menjawab persoalan hidupnya. Nampak bahwa di dalam adat Dayak Taman ini, toa-toa menjadi penasehat, bahkan dianggap mampu memecahkan persoalan nikah/kawin dan cerai.
Akhirnya, kebudayaan Dayak Taman ini mau mengatakan bahwa peran dari toa-toa mau memperlihatkan bagaimana kebudayaan itu berakarkan budaya penghormatan kepada yang lebih tua. Dan masyarakatnya berhak memilih siapa yang pantas dan layak untuk diteladani. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Dayak Taman ingin hdiup damai sejahtera, baik kepada sesama maupun kepada alam.

PENUTUP
Toa-toa yang telah dibahas di atas bukan hanya terdapat pada masyarakat Dayak Taman, tetapi kebudayaan ini juga hidup di tempat lain. Artinya, setiap kebudaayaan memiliki penatua atau kepala adatnya masing-masing. Hanya saja penghayatan dan makna dari penatua adat setiap budaya berbeda. Namun, hal yang pasti sama dimiliki ialah bahwa peran yang dimiliki oleh toa-toa adat menunjukkan kepemimpinan yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagian masyarakatnya.


[1] Toa-toa adalah sebutan masyarakat Dayak Taman untuk pemuka adat atau tetua adat atau tua-tua adat.
[2] Y.C Thambun Anyang, Kebudayaan dan Perubahan Dayak Taman Kalimantan Barat dalam Arus Modernisasi, Grasindo: Jakarta, 1998, hlm. 26. 
[3] Ibid., hlm. 155.
[4] Ibid.
[5] P. Yusnono, “Peranan Strategis Dewan Adat“, dalam P. Florus (eds), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Grasindo: Jakarta, 1994, hlm. 110.
[6] Ibid.
[7] Thambun Anyang, Loc.cit.
[8] J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Kanisius: Yogyakarta, 1984, hlm. 57. 
[9] Ibid., hlm. 61. 
[10] Ibid., hlm. 14.
[11] Ibid., hlm. 23.

Selasa, 08 Februari 2011

APAKAH Manusia??????

Manusia terkadang hanya bisa mengkritik, bisa mencela, menjatuhkan orang lain, iri hati, benci, marah, dan seterusnya. Kalau begitu,. apakah benar perkataan seorang filsuf yg bernama Jhon Locke bahwa "pada dasarnya manusia adalah jahat"......??????

Manusia terkadang berbuat baik kepada sesamanya, mencintai, membantu orang lain, bertindak bijaksana, tidak egois, rendah hati, dan seterusnya...Kalau begitu apakah benar perkataan seorang filsuf yang bernama Mencius bahwa, "Pada dasarnya manusia adalah baik".......?????

Atau manusia itu pada dasarnya baik, lalu mempergunakan kehendak bebasnya dengan sesuka hati tanpa memperhatikan orang lain??? (Teologi Kristiani)

Seorang filsuf barat (maaf, saya lupa namanya) pernah berkata, "Kebaikan manusia pada sesamanya hanyalah alat agar manusia itu dilihat baik dan diberikan balasan atas kebaikannya".

Lalu Apakah manusia itu??
Pertanyaan ini tidak gampang dijawab. Filsafat skolastik, yang selalu berkenaan dg suatu definisi mengatakan, "Manusia adalah mahkluk yg berakal budi, krn itu ia adalah bukan hewan".

Filsafat Manusia menjawab bahwa, " manusia adalah dia sejauh dan sebagaimana adanya"

Karena itu, pikirkanlah sendiri ttg hal itu,,,,pencarian akan apakah manusia itu tak akan pernah berhenti,,,,setiap orang boleh berpendapat,,,,dan setiap pendapat tak ada ruang untuk dibantah.

Karena itu bagi saya manusia adalah: "Aku dan Yang Lain yang berpikir dan berkehendak.....Aku dan yang Lain adalah Subyek, bukan obyek......."