Jumat, 11 Februari 2011

OLAHRAGA SEBAGAI UPAYA TARIK KAUM MUDA KE KEGIATAN MUDIKA


OLAHRAGA[1] SEBAGAI UPAYA TARIK KAUM MUDA KE KEGIATAN MUDIKA

Kaum muda adalah bagian dari Gereja. Di pundak merekalah masa depan Gereja terletak. Kenyataannya, tidak sedikit yang mengeluhkan betapa sulitnya menggerakkan kaum muda.
Dewasa ini, kegiatan lingkungan seperti doa, ibadat, pendalaman iman, legio Maria, dan kegiatan rohani lainnya jarang diminati oleh kaum muda. Coba saja kita pergi ke suatu lingkungan yang mengadakan doa atau ibadat. Jarang kita menemukan anak muda yang tergabung di dalamnya. Pertanyaannya, di manakah anak muda? Di mana peran mereka sebagai ‘harapan masa depan Gereja’? Masih “hidupkah” mereka sebagai muda-mudi Katolik? Apa faktor penyebab ketidakaktifan mereka? Dan bagaimana cara mengatasinya?

Pemahaman Tentang Kaum Muda dan Mudika
Sebelum kita menyimak fenomena kaum muda yang terjadi di lingkungan Regina Caeli, maka baiklah kita mengerti dulu siapa itu kaum muda dan apa panggilan mereka sebagai kaum muda Katolik.
A. Sebuah Definisi
1. Kaum Muda
Pertanyaan tentang siapakah kaum muda, tidak mudah untuk dijawab. Sulit untuk mengkategorikannya. Hal ini disebabkan karena penentuan seseorang dikatakan kaum muda tidak ada kepastian. Ada yang mengatakan rentang usia 14-40 tahun, 15-24 tahun, dan 15-21 tahun. Ada juga yang mengatakan pada rentang usia 17-30 tahun dan belum menikah. S.F. Shoemaker mengemukakan pendapatnya dengan membagi tiga jenjang kaum muda: 1) young adolescent: 12-24 yrs, 2) middle adolescent: 15-16 yrs, dan 3) older adolescent: 17-19 yrs.[2]
Lalu, bagaimana dengan konsep Pastoral Kaum Muda (PKM)? PKM mengikuti pedoman KWI yang mengatakan bahwa yang tergolong kaum muda adalah mereka yang rentang usianya mulai dari 13-30 tahun dan belum menikah, rentang usia SLTP – PT (PBB), dan memperhatikan juga latbel/kelompok khusus.[3]
2. Mudika
Arti kaum muda secara umum tidak sama dengan mudika. Mudika merupakan kumpulan atau persekutuan atau organisasi kaum muda katolik. Dengan kata lain, mudika adalah semua orang muda Katolik Indonesia, yang baik bersama-sama maupun sebagai pribadi memiliki, mengolah, dan mengembangkan dalam dirinya empat kualitas dasar, yakni: 1) kemanusiaan, 2) kemudaan, 3) kekatolikan, 4) keindonesiaan.
Seorang Mudika adalah seorang muda Katolik Indonesia yang sepenuhnya memiliki jiwa yang semangat, siap untuk bertanggung jawab, sedia terlibat dan bekerja bersama-sama bagi masa depan yang bermartabat bagi diri pribadinya, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan itu sendiri.[4]

B. Panggilan Seorang Mudika
Mudika adalah seorang muda katolik Indonesia yang:[5]
1.       Sadar dan mampu mengemban peran dan tanggung jawabnya sebagai orang muda dalam tugas kebangsaan yang dipercayakan kepadanya sebagai anak negeri Indonesia.
2.       Sadar dan mampu mengemban tugas dan panggilan kemanusiaanya untuk selalu berpihak kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, mereka yang senantiasa menjadi korban dari ketidakadilan dan kerakusan kekuasaan.
3.       Sadar dan mampu mengemban tugas dan panggilannya sebagai warga Gereja, sebagai penerus tradisi iman beserta ajaran-ajarannya, sekaligus sebagai satu komunitas peziarahan dan perjuangan hidup bersama menuju sang Kasih Sejati, yakni Allah sendiri.
4.       Sadar dan mampu mengemban tugas hakikinya sebagai orang muda, dalam menyempurnakan diri pribadi dan semua talenta yang dipercayakan kepadanya, dalam memperjuangkan impian dan idealisme kemudaannya, dalam kesadaran penuh bahwa masa depan yang ia perjuangkan adalah pula masa depan dari masyarakat, bangsa, gereja, dan kemanusiaan itu sendiri. Maka, menjadi sebuah keniscayaan baginya untuk bekerja bersama dengan semua sesama orang muda melintasi batas kebudayaan dan agama menjadi daya gerak utama transformasai sejarah bangsanya.
5.       Maka, menjadi sebuah keniscayaan pula, seorang Mudika pertama-tama haruslah mengerti, mendalami, dan menghidupi semangat, teladan hidup, dan ajaran Sang Kasih sendiri, yakni Kristus, Sang Manusia Muda yang secara khusus disampaikan kepada jaman ini lewat perantaraan Gereja Kudus. Demikianlah, menggereja menjadi kesempatan pembelajaran hidup yang pertama bagi seorang Muda Katolik, tanpa menjadi mati dan beku di dalamnya.

Penggambaran Situasi dan Persoalan Mudika Regina Caeli
Jumlah semua kaum muda yang tergabung dalam mudika Regina Caeli adalah 30 orang. Jumlah mereka ini merupakan jumlah terbanyak dari empat lingkungan yang ada di wilayah V.[6] Namun jika digabung secara keseluruhan, jumlah mudika yang ada di wilayah V adalah 70 orang.
Situasi yang terjadi pada mudika di lingkungan ini adalah selain tidak pernah datang ke setiap doa-doa lingkungan, mereka juga susah untuk bisa berkumpul bersama.[7] Jangankan mengikuti kegiatan lingkungan, berkumpul saja tidak pernah. Sehingga, lingkungan ini tampak seperti lingkungan yang tidak memilki mudika. Apakah mudikanya “mati”?
Sesuai hasil wawancara dengan ketua mudika, ketua liturgi, dan ketua lingkungan, mudika Regina Caeli sudah lama “mati”. Artinya, mereka sudah tidak pernah aktif lagi di lingkungan selama 6-7 tahun, baik itu dalam kegiatan doa lingkungan, kor, maupun hanya berkumpul bersama. Lalu, apa yang membuat mereka “mati”?
Menurut Rosanti Sindarta, selaku ketua mudika, “kematian” mudika Regina Caeli disebabkan oleh faktor kemalasan. Kemalasan ini dikarenakan tiap-tiap orang memiliki kesibukan tertentu dan memiliki wilayah kerja yang sangat jauh (mis. Di luar kota).  Apalagi, mudika Regina Caeli ini terdiri dari usia yang berbeda-beda. Ada yang SMP, SMA, kuliah, dan yang sudah bekerja. Otomatis waktu kerja dan waktu tenggang berbeda. Sehingga mereka sulit meluangkan waktunya untuk berkumpul bersama.
Secara singkat, juga ketua bidang liturgi, pak Ismiato, mengatakan bahwa “kematian” mudika disebabkan karena adanya faktor takut dan malu. Rasa takut dan malu ini berawal dari pertanyaan romo kepada mereka tentang agama pada saat doa-doa dan pendalaman iman. Sedangkan mereka tidak tahu menjawab ketika ditanya. Sehingga, hal itu membuat mereka malu. Akibatnya, para kaum muda merasa takut dan tidak mau lagi mengikuti doa dan kegiatan-kegiatan rohani lainnya. Dan itu terjadi sampai sekarang setelah 6-7 tahun yang lalu.
Singkatnya, penjelasan-penjelasan ini menghantarkan kita untuk mengerti dan memahami ketidakaktifan mudika Regina Caeli di lingkungannya. Lalu, bagaimana mengatasi hal ini?

Olahraga: Sebuah Metode
Untuk mencapai suatu tujuan kita tak lepas dari metode yang kita gunakan. Drs. Philips Tangdilintin mengatakan bahwa dalam membangkitkan kembali semangat kaum muda untuk dapat berkumpul bersama, kita tidak perlu melakukannya lewat pengumuman gereja. Tetapi yang harus kita lakukan ialah pendekatan pribadi pada beberapa key person, orang-orang muda yang mempunyai pengaruh dan didengarkan di lingkungan mereka.[8] Sehingga lewat perantaraan merekalah, ide atau gagasan ini dapat tersalurkan. Namun sebelum sampai kepada key person ini, kita perlu mempersiapkan metode terlebih dahulu.
Metode adalah jalan, cara dan langkah-langkah yang harus dilewati dalam rangka mencapai tujuan. Metode lebih dimaksudkan sebagai tindakan seleksi, pengaturan, dan penempatan sumber-sumber dan cara kerja yang sistematis strategi – (meliputi sebelum-pada waktu-sesudah aktivitas pembinaan), sehingga secara fungsional dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan tercapainya tujuan pembinaan yang dirumuskan.[9]
Ada beberapa prinsip dalam dalam metode, yaitu: definitive, relevan, motivasi, integrasi, konkrit, dan konsentrasi.[10] Prinsip-prinsip ini akan dijelaskan satu persatu sesuai dengan maksud penulis dalam pengamatan dan hasil kerja nyata di lingkungan Regina Caeli:

1.      Definitif
Tujuan utama yang hendak penulis capai ialah agar mudika dapat kembali aktif ke dalam kegiatan mudika dan aktif mengikuti kegiatan lingkungan, paroki, dan gereja serta dapat memahami imannya dengan benar. Dan metode olahraga ini hanya sebagai cara atau sarana untuk mengumpulkan mereka. Sehingga dengan berkumpulnya mereka menjadi satu, tujuan sesungguhnya yang menjadi sasaran dapat disampaikan.    
2.      Relevan
Mudika lingkungan Regina Caeli sampai sekarang tidak pernah mengadakan kumpul bersama dengan mereka sendiri sejak 6-7 tahun yang lalu. Bukan hanya itu, mereka juga tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan, seperti doa, ibadat, pendalaman iman, dan sebagainya. Dan realitas yang ingin dicapai adalah lawan dari realitas yang terjadi pada saat ini, yakni aktif kembali sebagai mudika sejati, baik di paroki maupun di lingkungan. Dan cara atau metode yang digunakan untuk dapat memberikan pemahaman dan pendalaman sebagai murid Kristus adalah metode olahraga.  
3.      Motivasi
Pembinaan ini berangkat dari sebuah kegelisahan yang mendalam yang terjadi dengan mudika regina caeli. Maka dari itu, penulis bermaksud mengembalikan situasi yang pernah terjadi sebelumnya – di mana kaum muda pernah berkumpul dan terlibat di lingkungan – ke realitas saat ini. Dan pembinaan ini bukan sekedar hal-hal sampingan, tetapi suatu perhatian yang terarah dan berlanjut.
4.      Integrasi
Dalam pembinaan ini, penulis hanya menggunakan satu metode yaitu metode olahraga. Metode ini dianggap mampu untuk mengumpulkan kaum muda Katolik. Hanya sebatas “mengumpulkan” (namun maksud penulis sesungguhnya bukan hanya untuk mengumpulkan, tetapi mengumpulkan untuk dapat memberi sesuatu yang berguna bagi mereka sebagai kaum muda Katolik).
5.      Konkrit
Tujuan konkrit yang sudah dipaparkan di atas serta metode yang digunakan, juga dilaksanakan secara konkrit. Dan pelaksanaan itu dapat dicapai dan dekat dengan dunia kaum muda.
6.      Konsentrasi
Metode olahraga yang digunakan hanyalah sebatas untuk mengumpulkan kaum muda. Sedang tujuan utamanya adalah menanamkan nilai-nilai imani yang berpusat pada Kristus sendiri. Karena itu, hal ini tak luput dari pengulangan dan pendalaman yang terus-menerus. Artinya, kegiatan ini tak boleh berhenti begitu saja, melainkan terus berlanjut guna membantu pengendapan nilai-nilai, baik itu secara intensif maupun ekstensif.

Lalu pertanyaannya, mengapa menggunakan metode ini? Karena, metode ini dirasa cukup praktis dan sederhana serta tidak membutuhkan biaya sedikitpun. Selain itu, olahragapun menjadi sarana yang banyak digemari oleh mereka. Sehingga, ketika diajak untuk olahraga bersama, mereka dengan senang hati menerimanya.

Sebuah Refleksi
Jiwa kaum muda tidak dapat disamakan begitu saja dengan jiwa kaum tua. Masa muda adalah masa pembentukan jatidiri. Pada masa ini seseorang akan menegaskan identitas, kepribadian dan keunikannya[11]. Maka tidak mengherankan jika pada masa ini kaum muda banyak memberikan sumbangan dan perubahan bagi lingkungannya, keluarganya dan masyarakatnya.
Masa muda juga dipenuhi dengan masa di mana mereka selalu ingin berkelompok. Ada aneka macam kelompok hobi yang diikuti oleh orang-orang muda, seperti komunitas sepede ontel, komunitas pecinta binatang, dan komunitas pecinta alam. Banyak pula kelompok-kelompok lain seperti olahraga, musik, teater, diskusi yang terdiri dari orang muda. Kecendrungan berkelompok ini tidak hanya terjadi dalam dunia yang kasad mata, tapi juga dalam dunia maya dalam bentuk milis ataupun blog-blog komunitas pertemanan.[12]
Dunia orang muda adalah dunia yang selalu bergerak. Mereka bergerak untuk menemukan tempat berlabuh yang sesuai. Maka tidak mengherankan bila seringkali pelabuhan ini tidaklah panjang waktunya, sementara, sampai ditemukan tempat berlabuh yang lebih nyaman dan menyejukkan hati. Pelabuhan itu dapat berupa kawan, organisasi, tempat kerja, pendidikan dan calon pasangan hidup.[13]
Karena itu, tak heran jika kegiatan mudika atau lingkungan yang berupa doa, ibadat, pendalaman iman, dan sebagainya tak diminati. Karena kaum muda sudah “terbius” dengan keadaannya sebagai orang muda yang bebas. Maka dari itu, sangat baik jika seorang Pembina pastoral menyadarkan kembali akan pentingnya kaum muda dalam membangun Gereja.  
Memang tidak mudah untuk menarik kaum muda yang sudah terbius dengan kehidupannya yang bebas. Namun sebetulnya, kaum muda itu membutuhkan pendampingan yang sungguh bersahabat. Artinya, kaum muda sungguh membutuhkan perhatian dan cinta kasih dari siapa saja yang peduli kepada mereka. Dan Tentu saja cara yang digunakan untuk menarik kaum muda tidak melulu dengan langsung turun kepada kegiatan rohani seperti rekoleksi, retret, atau kegiatan doa lainnya. Tetapi perlahan-lahan masuk dengan sebuah metode tertentu yang menarik bagi mereka. Misalnya saja, dengan metode yang sesuai dengan minat atau bakat mereka. Jika mereka menyukai musik atau olahraga, maka mulailah dengan kegiatan itu. Seperti metode yang digunakan kali ini, yakni metode olahraga.
  Namun pertanyaan kritis bagi kita, apakah metode ini sama dengan cara menipu kaum muda?
Bermetode tidak sama dengan menipu. Metode hanyalah cara atau jalan terbaik untuk bisa mencapai tujuan. Tetapi dalam hal ini bukan menipu. Karena metode adalah sarana yang benar dan sesuai dalam menarik perhatian seseorang, terlepas dari keinginannya mau atau tidak. Dan metode ini sifatnya adalah tidak memaksa.
Akhirnya, metode hanyalah sebuah cara, jalan, langkah-langkah dan sarana yang dapat membantu untuk tercapainya sebuah tujuan.

Penutup
Pada pelantikan Paus Yohanes Paulus II tanggal 22 Oktober 1978, Paus menyapa kaum muda dengan mengatakan, “Kaum muda adalah masa depan dunia, kalian adalah harapan Gereja, kalianlah harapan saya”. Ia juga menyemangati mereka dan menyadarkan betapa berharganya mereka dalam kehidupan Gereja.    
Gembira karena kita masih mempunyai masa depan melalui generasi muda Gereja. Berharap karena percaya bahwa kaum muda tidak akan takut menjadi orang Katolik yang baik. Kaum muda adalah jantung Gereja. Jika jantung tidak bergerak, seluruh tubuh akan mati. Kaum muda harus bergerak agar Gereja tidak mati. Kaum muda adalah masa depan dunia, harapan Gereja, dan harapan Paus.[14]
Maka dari itu, hal yang terbaik yang dapat kita lakukan ialah bersama-sama membangkitkan semangat kaum muda untuk terlibat di dalam kehidupan menggereja dan berani menjadi saksi Kristus yang sejati. Hidup Kaum muda!!


[1] “Di Jerman, olahraga merupakan sebuah jalan baru untuk menjembatani tema agama kepada remaja. Pemuka gereja Jerman juga menyadari bahwa langkah ini amat perlu dilakukan. Sebab Gereja Katolik memiliki citra yang sudah tidak bagus di kalangan remaja. Dan mereka memandang bahwa Gereja adalah institusi yang ketinggalan zaman, kolot, menjengkelkan dan membosankan. Pokoknya di mata para remaja, Gereja itu tidak keren. Itulah sebabnya mengapa banyak sekali remaja yang menyatakan keluar dari gereja. Akibatnya gereja-gereja di Jerman berusaha mencari jalan, untuk menarik minat kaum muda agar kembali aktif dalam bidang keagamaan”. Lih. http://www.tor.cn/chinfootball/dw/article/0,,4159734,00.html, akses 22 Mei 2009.
[2] S.F. Schoemaker, “Adolescent”, dalam Rodney J Hunter (eds), Abingdon: 2005.
[3] Adi Saptowidodo, Lic, Diktat Patoral Kaum Muda: Bagian Dua, STFT Widya Sasana: Malang, hlm. 2.
[5] Ibid.

[6] Empat lingkungan yang ada di wilayah V adalah: lingkungan Regina Caeli, Sisilia, Vincentius A Paulo, dan Yoseph.
[7] Hal yang sama juga terjadi di tiga lingkungan lainnya. Namun pada kesempatan ini penulis hanya membatasi diri pada lingkungan Regina Caeli.
[8] Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa, “letakkan gagasan anda di mulut key person itu: biarkan mereka yang kemukakan dalam pertemuan trerbatas, seolah-olah itu gagasan mereka sendiri, yang kemudian anda dukung dan sempurnakan. Kemudian usulkan dan bahas bersama bentuk kegiatan untuk mulai”. Lih. Drs. Philips Tangdilintin, Pembinaan Generasi Muda Dengan Proses Manajerial Vosram, Kanisius: Yogyakarta, 2008, hlm. 130.
[9]  Adi Saptowidodo, Lic, Op.cit., bagian lima, hlm. 2.
[10] Ibid. hlm. 2-3.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar